Perpaduan beberapa tradisi dalam konsep demokrasi desa yang terkandung dalam UU Desa
setidaknya memberi pelajaran bahwa sikap romantisasi bukanlah pilihan yang tepat dalam memaknai demokrasi desa. Desa-desa memang kaya dengan tradisi yang kepadanya mungkin bisa disematkan sebagai demokrasi desa. Tetapi sikap romatisme hanya akan menjebak pada sikap ekslusif yang berakibat pada kesulitan dalam membingkai konsep demokrasi desa dalam kerangka institusional hubungan desa dan negara.
Pada titik ini maka yang tepenting adalah mendialogkan prinsip demokrasi desa dengan konsep demokrasi dalam tradisi negera modern. Romantisasi dimaksud misalnya orang selalu mengatakan: “kalau mau lihat demokrasi yang sejatai datanglah ke nagarai”, atau kata-kata “kalau bicara dmokrasi di Indonesia, mari kita lihat ke desa. Di sanalah demokrasi masih hidup”, dan beberapa perkataan sejenis. Beberap indikator pun kemudian dimunculkan.
Mulai dari pemilihan kepala desa secara langsung, forum-forum warga yang sudah hidup puluhan tahun, tradisi gotong royong, hidup saling menghormati, adanya rembug desa, dan tradisi-tradisi lain yang telah mengakar kuat di desa. Klaim-klaim romantisme semacam itu sesungguhnya tidak masalah dan sah-sah saja. Tetapi menjadi berbahaya ketika hal tersebut dilihat sebagai demokrasi yang absolut, tanpa kritik, yang pasti benarnya, dan bahwa seolah-olah adat istiadat dan tradisi yang ada desa-desa semuanya berlangsung dan berjalan linier.
Dalam kaitanya dengan konsep demokrasi modern, maka sesunggunya yang penting adalah mendialogkan antara tradisi yang sudah berlangsung di desa dan menjadi warisan budaya tersebut dengan konsep yang dimiliki negara. Dialektika itu yang diharapkan mampu memunculkan pelembagaan demokrasi desa secara institusional melalui prinsip-prinsip demokrasi. Di Indonesia, gagasan tentang demokrasi desa memang memilik akar sejarah yang panjang. Cita-cita persaudaraan dalam kesederajataan kewargaan ini memiliki akar yang kuat dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia.
Secara historis sosiologis, kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan Nusantara yang menjadi tempat persilangan antarbudaya. Tradisi musyawarah dalam semangat kekeluargaan telah lama bersemi dalam masyarakat desa di Nusantara. Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga memberi pengalaman bagi para pelopor kebangsaan dari berbagai latar budaya untuk menjalin kerjasama (Latif, 2015; 385). Modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut itulah yang akhirnya memunculkan harapan dan cita-cita memiliki sebuah bentuk demokrasi yang tepat dan selaras dengan karakter dan cita-cita kemerdekaan bangsa. Karena itu Hatta pernah mengatakan bahwa negara harus berbentuk republic dan berdasarkan kedaulatan rakyat. Tetapi Hatta menggaris bawahi bahwa kedaulatan rakyat yang dicitacitakan berbeda dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualis.
Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia haruslah berakar dalalm pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia menurut Hatta harus pula merupakan demokrasi Indonesia yang “asli” (Hatta, 1992, dalam Latif, 2015; 386). Menurut Hatta, demokrasi tidak bisa dilenyapkan dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia. Hatta menilai bahwa demokrasi yang ada di Indonesia sudah tumbuh dan berkembang sesuai tradisi yang dalam masyarakat sehingga ia tak akan pernh mati. Demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat itulah yang akan terus hidup.Dalam pandangan Hatta setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi di Indonesia.
Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawartan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang dalam sejarah pergerakan Indonesia menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992, dalam Latif, 2015; 386).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar