Portofolio Demokratisasi Desa
Harus diakui, lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 telah membawa perspektif baru dalam pengelolaan desa dalam seluruh aspeknya. Paling tidak, UU Desa telah merubah cara pandang kita semua terhadap desa. Cara pandang yang setidaknya menempatkan desa sebagai entitas yang harus diperhitungkan dalam diskursus dan perbincangan negara-masyarakat yang selama ini cenderung meminggirkan desa. UU Desa dalam konteks ini telah mampu meletakkan fondasi dalam pengertian yang sesungguhnya tentang makna dan spirit demokrasi sosial, demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi.
Spirit demokrasi sosial ditunjukkan dengan keberadaan desa sebagai representasi negara yang hadir mengatur dan melayani masyarat. Semangat gotong-royong yang hidup dan berkembang di masyarakat menjadi salah satu elemen penting dalam demokrasi lokal. Sementara nilai-nilai demokrasi politik bisa direpresentasikan melalui kepemimpinan kepala desa yan memiliki legitimasi yan mengakar, penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, kontrol BPD, serta musyawarah desa. Sementara demokrasi ekonomi bisa dilihat denga kehadiran desa dalam mengkonsolidasikan asset-aset ekonomi desa serta pasrtisipasi masyarakat dalam keggaiatan ekonomi desa (Eko, 2017). Merefleksikan hal di atas, pertanyaan filosofis yang sesungguhnya penting untuk digali adalah portofolio demokratisasi seperti apakah yang tepat untuk dikembangkan sebagai kerangka kerja demokrasi desa. Perspektif ini penting untuk dielaborasi untuk menemukan perspektif baru dalam memaknai konsep demokratisasi di desa.
Dalam diskursus tentang demokrasi, terdapat setidaknya dua aspek utama dalam konsep formal demokrasi. Pertama, kesetaraan politik warga negara. Kedua, gagasan pemerintahan yang baik (good government). Berangkat dari konsepsi ini maka sebuah kesadaran teoritik juga harus dikembangkan dengan baik terutama terhadap munculnya lembaga-lembaga demokrasi yang dibentuk berdasarkan ekspresi kesataraan politik warga negara (Regus, 2015).
Kesetaraan politik dalam kaitannya dengan argumentasi ini tidak hanya sebatas kesamaan kesempatan dan ruang ekspresi pemilihan politik pada saat pemilihan umum saja tetapi bagaimana warga negara mendapatkan perlindungan politik sebagai mekanisme utama yang dikembangkan negara demokrtaik. Karean itu hal yang penting digarisbawahi bahwa demokrasi tidak hanya berhubungan dengan kesetaraan ekspresi sosial politik melainkan juga hak setiap warga negara mendapatkan pelayanan pemerintahan yang dipilih secara demokratik. F. Von Hayek (1960) melihat bahwa gagasan tentang demokrasi telah mendorong terjadinya proses politik yang membawa warga negara ke tahap keadaban politik dengan mengawal penciptaan putusan-putusan politik yang penting yang dilakukan oleh pemerintah (negara).
Warga negara harus mengolah opini publik untuk menjadi bagian penting dari kebijakan politik pemerintah. Warga negara harus mendorong tumbuhnnya suasana politik yang semakin baik sementara pemerintah mengalokasikan perhatian politik kepada rakyat dalam jumlah yang lebih besar ketimbang mengurus kepentingan-kepentingan spasial semata. Dalam diskursus demokrasi ini, konsep utama yang harus dipegangi bahwa apapun model dan bentuknya dan pada lokus mana ia beroperasi, demokrasi harus mampu menjamin terselenggaranya mekanisme politik yang adil untuk setiap warga.
Negara dalam hal ini bahkan harus menunjukkan perlindungan politik yang lebih besar dalam skala perhatian terhadap kelompok-kelompok social yang secara politik tidak berdaya. Pemenuhan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi akan menumbuhkan kewarganegaraan yang beradab. Jika argumentasi sebagaimana di atas yang dibangun, pertanyaanya kemudian adalah, apa standar yang ideal yang sesuai dengan konsep demokrasi? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum lebih jauh masuk pada elaborasi tentang demokrasi pada tingkat desa. Robert Dahl sebagaimana dikutip F. Von Hayek (1960) menyarankan beberapa standar ideal sebagai komitmen normative inti dari demokrasi, yakni partisipasi efektif masyarakat, kesetaraan politik, perlindungan politik, serta mekanisme control terhadap kekuasaan.
Dahl dalam hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa demokrasi harus dipahami dalam hal agregasi kepentingan semua elemen demokrasi, terutama kepentingan-kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu prinsip-prinsip semacam partisipasi, transparansi, akuntabilitas, responsiveness, consensus oriented, equity and inclusiveness, serta efisiensi menjadi keniscayaan dan harus menjadi bagian yang inhern dalam mengembangkan prinsip-prinsip berdemokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar