Niat Baik Tim Pemberdayaaan masyarakat
Silih bergantinya program pemberdayaan pada dasarnya menunjukan perkembangan pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan berkaitan dengan proses produksi pengetahuan. Dalam istilah Foucault proses perkembangan pengetahuan tersebut disebut episteme. Sebagai episteme program pendampingan desa adalah bagain dari skenario pembangunan mendispilinkan.
Perpindahan zonasi atau garis orbit pengambilan peran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang tertampil dari garis nasib kedua pendamping desa dapat dikatakan mendisrupsi tradisi pemberdaya yang sebagian besar lebih senang berada dalam zonasi karier sebagai fasilitator ataupun pendamping desa. Sebagaimana kita tahu, dalam kerja-kerja fasilitator atau pendamping desa juga dilengkapi dengan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan logical framework sebagaimana tertuang dalam apa yang disebut Petunjuk Teknis Operasional (PTO).
Di sini, secara tidak langsung membatasi pendamping yang bersangkutan untuk berkreasi dan berinovasi di luar PTO. Karenanya, jika dilihat dari kacamatan governmentality Foucault tadi, walaupun di dadanya tersemat pekerja sosial, sesungguhnya dalam praktik kerja-kerja sosialnya tetap didominasi oleh nalar dan tindakan mekanis. Pertanyaannya, kemudian sejauh mana PTO yang dijadikan panduan gerakan pemberdayaan sosial yang diperankan pendamping desa mampu menghadirkan kemanfaatan Dana Desa yang benar-benar dirasakan masyarakat, atau mewujudkan kemanfaatan UU Desa dalam spektrum yang lebih luas.
Dalam suatu kesempatan pelatihan untuk pelatih penguatan kapasitas PLD di Jakarta, Dirjend Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendesa PDTT, Samsul Widodo berulang kali menyindir dan mengingatkan kalau para pendamping terlalu lama baca PTO, sehingga tak kuasa berfikir out of the box dari PTO. Sebagai ASN yang sejak awal bergelut dengan urusan program pemberdayaan, yang kala itu membidani lahirnya IDT, PPK, P3DT hingga PNPM, dalam kesempatan tersebut, Samsul Widodo mengingatkan bahwa PTO pada dasarnya hanyalah instrumen, di mana pada saat kali dibuat, PTO tidak disandarkan pada aturan hukum tertentu. Baginya, ketika PTO mengkerangkeng daya kreativitas pendamping desa, maka akan tertinggal dari perubahan dunia yang bergerak sangat cepat. Ia menyontohkan, besarnya anggaran Dana Desa yang diterima oleh desa belum dibarengi dengan daya cipta program pembangunan yang kreatif, hanya karena terlalu kaku menerjemahkan tradisi penganggaran.
Dicontohkannya, pembangunan pasar desa atau BUMDesa sebenarnya dalam satu kali tahun anggaran dapat diwujudkan dalam disain semegah mall atau supermarket. Tapi karena pola pikir para perencana yang memilih cara penganggaran multi year, maka harapan memiliki bangunan pasar atau BUMDesa berkualitas modern tak pernah tercapai dalam satu tahun anggaran.
Dalam konteks status quo pemakaian model aturan hukum penganggaran dan belanja multi year ini, sebenarnya dengan kewenangannya, desa dapat mendisrupsinya dengan mengambil kebijakan, meminjam bank. Lalu angsurannya dapat dilakukan setiap tahun anggaran sesuai dengan kesepakatan antara Pemdes dengan pihak Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar