Kritik pemberdayaan
pemberdaya dan pendamping desa terlalu banyak diatur media PTO, diamini oleh seorang antropolog, Tania Murray Li. Menurut Li (2012), secara umum menerima bahwa banyak pihak turut berperan dalam upaya-upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat. Li, menyebut di dalamnya terselipkan suatu kehendak yang olehnya disebut kehendak untuk memperbaiki (the will to improve). Pihak-pihak yang terlibat dalam kehendak untuk memperbaiki ini, menurut Li, menempatkan diri sebagai wali masyarakat, sebuah kedudukan yang diteguhkan oleh klaim bahwa merekalah pihak yang tahu tentang bagaimana masyarakat harus hidup.
Apa yang terbaik dimiliki oleh masyarakat atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, wali masyarakat merasa lebih tahu dari masyarakat itu sendiri. Nah, kehadiran para pemberdaya atau dalam konteks ini pendamping desa dapat dibaca pula sebagai wali masyarakat. Jika secara pribadi ditanya, apakah mereka wali masyarakat, besar kemungkinan tak akan mengiya-kan, karena halangan psikologis ataupun larangan agama untuk pamer kehendak (niat).
Tapi secara wacana, keberadaan pengetahuan dan tindakan sosial yang diperankan para pendamping dapat ditelusuri dari berbagai perangkat pengetahuan yang menguasainya. Perangkat pengetahuan tersebut kemudian melahirkan pengaturan kekuasaan, praktik pendisiplinan dan praktik individualisasi. Pengaturan dan pendisiplinan para wali masyarakat ini sangat kentara bila kita tengok konsepsi dan praktik proyek-proyek pemberdayaan sebagaimana diulas di atas.
Demi mengawal penyaluran dana bantuan yang dialirkan oleh negara melalui proyek-proyek pemberdayaan di atas, maka diciptakan berbagai aturan dan aktor yang gerakannya malah mengobyetifikasi desa. Artinya, program pemberdayaan, sekalipun berorientasi pada pengentasan kemiskinan, formasi pengaturan yang diproduksi lalu diinstalasikan ke dalam tubuh para pemberdaya melalui proses pelatihan dan pendisiplinan ala militer, secara langsung menempatkan desa hanya sebagai obyek proyek.
Sangat terlihat di dalam P3DT misalnya, hanya untuk mendapatkan dana bantuan permodalan antardesa dipersaingkan, walau dikemas dalam intrumentasi musyawarah desa, yang seolah hendak menjustifikasi bahwa persaingan pengajuan dana bantuan antardesa tersebut adalah hasil kesepakatan masyarakat. Padahal kalau kita mau kembali pada hakikat negara, maka warga negara adalah pemilik mandat kedaulatan sumber daya pembangunan. Pemerintah hanyalah pelaksana mandat. Tapi mengapa hanya untuk mendapatkan haknya, pemerintah memilih untuk menciptakan kompetisi dengan tahapan mekanis yang panjang dan rumit karena harus melalui medan konflik antarsatuan masyarakat. Kehadiran UU Desa, layak kita syukuri karena mendisrupsi tradisi lama pembangunan desa yang bersifat charity dan orientalistik, sekalipun berbaju community driven development.
UU Desa membuka gembok aturan hingga operasionalisasi pendanaan pembangunan desa yang sebelumnya berada dalam otoritas pemerintah supradesa yang mengutamakan pengobyetifikasian desa, bukan menjadi desa sebagai subyek. Nah, kini UU Desa mengakui adanya hak desa baik berupa kewenangan maupun keuangan. Dana desa yang diberikan pemerintah tidak lagi berstatus sebagai dana bantuan maupun hibah. Tapi, Desa Desa adalah hak desa, sebagai konsekuensi kebijakan yang mengikuti adanya pengakuan kewenangan desa tersebut. Dengan kewenangan desa diberikan kewenangan penuh untuk mengelola Dana Desa tersebut, tentu sesuai dengan koridor yang diizinkan undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar