Konsep demokrasi modern
bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dalam sejarah perjalanan bangsa ini memang merupakan fenomena baru yang muncul sebagai rangkaian formasi negara republic Indonesia merdeka. Kerajaan-kerajaan pra – Indonesa adalah kerajaan feodal, yang dikuasai oleh raja-raja autocrat. Meskipun demikian memang nilai-nilai demokrasi hingga taraf tertentu telah berkembang di bumi Nusantara dan telah dipraktikkan dalam unit politik kecil seperti desa di Jawa, Nagari di Sumatera, banjar di Bali dan beberapa lainya. Pandangan seperti ini pulalah yang pernah dikemukakan Tan Malaka.
Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di bumi Nusantara. Tan Malaka mengambil contoh kultur Minangkabau dimana keputusan seorang raja pun bisa ditolak bila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005; 15-16). Mencermati pandangan Hatta tentang demokrasi seperti di atas, ada dua catatan penting yang bisa digaris bawahi. Pertama soal permusyawaratan desa.
Tradisi kolektivisme ini ternyata telah hidup dan berkembang di masyarakat dan menjadi semacam norma yang berkembang di masyarakat dan digunakakan untuk menyelesaikan persoalan yang berkembang di antara mereka. Dalam sejarahnya, konsep kolektivisme ini berasal dari soal tanah sebagai faktor produksi yang dimilik bersama-sama oleh masyarakat desa. Karena kepemilikan yang bersifat kolektif ini, hasrat tiap-tiap orang untuk memanfaatkanya kemudian harus mendapat persetujuan yang lain.
Hal inilah yang akhirnya mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tenah bersama yang pada akhirnya merembet pada urusan-urusan lain. Adat semacam inilah yang membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum, yang akhirnya diputuskan secara mufakat. Tradisi musyawarah-mufakat ini kemudian melahirkan institusi-institusi yang dinamakan dengan tradisi rapat. Tradisi musyawarah yang memilik sejarah panjang itulah yang menurut Hatta melahirkan keyakinan bahwa demokrasi desa boleh saja ditindas oleh kekuasan feudal, namun sama sekali tidak bisa dihilangkan. Ini karena ia tumbuh dan idup sebagai adat istiadat itu sendiri. Ia menjadi bagian yang terinternalisasi dalam tubuh masyarajkat desa itu sendiri.
Hal ini menurut Hatta menanamkan keyakinan di lingkungan pergerakan kebangsaan bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya, seperti terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan (Hatta, 1992, dalam Latif, 2015; 388). Pararel dari catatan pertama, kita masuk pada catatan kedua dari pandangan Hatta di atas. Catatan kedua adalah pada soal paham sosialis Barat. Irisan di antara keduanya terletak pada wilayah bagaiamana pandangan dan tradisi kolektivisme tadi kemudian dibingkai dalam pelembagaan-pelembagaan institusional seperti kepemimpinan desa, BPD, kontrol, akuntabilitas dll sebagai prasyarakt konsepsi demokrasi. Konsep-konsep tersebut yang kemudian dirangkai dengan konsep tentang transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dll memang merupakan konsepsi modern dari demokrasi barat yang lahir sejak abad Pencerahan.
Altar sejarah inilah yang akhirnya memunculkan sebuah optimisme dan keyakinan bahwa demokrasi desa sesungguhnya telah berusia sepanjang repubklik ini lahir. Hanya kemudian, dialektika dengan konsep negara modern melahirkan pemikiran untuk membingkai sesuai dengan konsep demokrasi sehingga tidak melahirkan klaim romantisme yang kehilangan konteks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar