kelembagaan dan kerangka regulasi,
kelahiran UU Desa paling tidak memberi jawaban atas kerangka institusionalisasi tersebut dalam melembagakan demokrasi di desa. Artinya, melampaui klaim romantisasi yang cenderung meninabobokan-karena tanpa disertai sikap kritis-, keyakinan yang harus terus ditumbuhkan adalah bahwa demokrasi di desa itu bisa diorganisir dan diciptakan.
Prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini dipegang oleh negara bisa didialogkan dengan demokrasi model desa. Kekayaan-kekayaan akan model demokrasi di desa justru bisa menjadi fondasi yang kuat untuk menuju pada demokrasi desa yang lebih subtansial dan bermakna. Pada titik ini, upaya melampaui klaim romantisasi tersebut sebagai jawaban dalam menyerap aspirasi masyarakat dan merumuskan kebijakan publik yang sesuai dengan tantangan perubahan lingkungan yang cepat, sehingga membutuhkan apa yang disebut oleh Neo Boon Siong (2015) sebagai reformasi kebijakan dalam dynamic governance.
Dynamis governance adalah sebuah konsep dalam membangun tata pemerintahan yang tidak hanya berdasar prinsip good governance, tetapi bergerak lebih maju dengan mengedepankan kapabilitas dan kultur dalam tata kelola yang baik. Kembali pada pertanyaan di atas, demokrasi seperti apakah yang seharusnya diwujudkan guna membangun spirit dan institusi desa? Demokrasi macam apa yang pas dan relevan dalam mendialektikan desa dan negara? Hal ini penting untuk meletakkan agar makna demokrasi desa bisa lebih dimaknai secara kontekstual.Kalau kita cermati, konsep demokrasi desa yang terkandung dalam UU No.6/2014 sesungguhnya memang mengandung banyak racikan dan perpaduan antara tradisi liberal, radikal, dan juga komunitarian.
Pertama, prinsip akuntabilitas misalnya. Konsep ini sesungguhnya bukanlah monopoli kaum liberal semata, tetapi juga dikampanyekan oleh kaum radikal dan terlebih kaum komunitarian. Komunitarianisme masyarakat lokal jelas selalu mendambakan pemimpin yang bertanggungjawab karena telah memperoleh mandat dari rakyat. Pada ranah ini, persoalan akuntabilitas pemimpin bukan hanya terbebas dari korupsi, tetapi yang diharapkan juga lahirnya pemimpin yang inovatif, visioner, proaktif, progresif dan tentu saja berkinerja baik.
Kedua, dalam pandangan kaum liberal, demokrasi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya resiko buruk terhadap kekuasaan besar kepala desa yang hendak mengontrol dan menyeronbot sumber daya desa. Inilah yang sesungguhnya menjadi kerisauan kaum liberal. Untuk itulah konsep demokrasi desa yang dikemas dalam UU Desa menyediakan mekanisme chek and balance yang dilakukan oleh institusi representasi bernama BPD. Tak cukup berhenti sampai disitu, mekanisme kontrol juga diperkuat dengan pelembagaan nilai-nilai kebebasan, transparansi, akuntabiltas dan partispasi. Ketiga, kaum liberal lebih mengutamakan dimensi organisasi warga dan partisasipasi yang lebih kuat sebagai jalan untuk memperkuat hakhak warga dan kedaulatan rakyat.
Menurut aliran liberal ini, organisasi dan partisapasi warga tak cukup jika hanya diwadahi dengan lembaga kemasyarakatan, melainkan warga seharusnya mampu mengorganisir diri secara mandiri sebagai wadah popular participation. Letak masalahnya bahwa UU No.6/2014 secara eksplisit tidak mengatur organisasi warga. Hanya saja secara prinsip UU Desa ini menyatakan bahwa warga masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi sebagai wadah partisipasi.Keempat, pemikiran kaum komunitarian sangat cocok dengan konteks sosiokultural masyarakat desa. Azas kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan serta musyawarah yang terdapat dalam UU No.6/2014 tersebut jelas mencerminkan pemikiran kaum kaum komunitarian. Asas-asas tersebut semuanya ditujukan untuk mencapai kebaiakan dalam payung desa (Eko, 2017; 103-104).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar