Akuntabilitas Membangun Keseimbangan Demokrasi
menuntut keseimbangan. Karena itu, dalam prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), prinsip akuntabilitas menjadi salah prinsip utama bersama transparansi dan partisipasi. Tak terkecuali dalam UU Desa. Dalam Undang-Undang Desa No.6/2014 dikenal beberapa jenis akuntabilitas, antara lain akuntabilitas vertikal, yakni pengawasan dan pelaporan.
Selain itu ada juga akuntabilitas horizontal melalui kontrol dan keseimbangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ini merupakan institusi demokrasi perwakilan desa, meskipun ia bukanlah parlemen atau lembaga legislatif seperti DPR. Ada pergeseran (perubahan) kedudukan BPD dari UU No. 32/2004 ke UU No. 6/2014. Menurut UU No. 32/2004 BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa, yang berarti BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa.
Ini artinya fungsi hukum (legislasi) BPD relatif kuat. Namun UU No. 6/2014 mengeluarkan (eksklusi) BPD dari unsur penyelenggara pemerintahan dan melemahkan fungsi legislasi BPD. BPD menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa serta menyelenggarakan musyawarah desa. Ini berarti bahwa eksklusi BPD dan pelemahan fungsi hukum BPD digantikan dengan penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi). (Eko, 2015; 187).
Uraian di atas memberi pemahaman bahwa secara politik musyawarah desa merupakan extended BPD. Pada UU No. 6/2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 (ayat 5) disebutkan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
Pengertian tersebut memberi makna betapa pentingnya kedudukan BPD untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, terutama mengawal berlangsungnya forum permusyawaratan dalam musyawarah desa. Kondisi ini yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Desa di Bagian Keenam, Pasal 54 (ayat 2), hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud meliputi: a) Penataan Desa; b) Perencanaan Desa; c) Kerja sama Desa; d) Rencana investasi yang masuk ke Desa; e) Pembentukan BUM Desa; f) Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g) Kejadian luar biasa. Satu hal yang wajib clearkan bahwa posisi baru BPD dalam UU No.6/2014 memang berbeda dengan posisi BPD dalam UU No.32/2004. Posisi baru BPD sesuai UU Desa ini memang dikhawatirkan menimbulkan beberapa kemungkinan plus minus relasi antara kepala desa,
BPD dan masyarakat. Pertama, fungsi politik BPD yang menguat akan memperkuat kontrol dan legitimasi kekuasaan kepala desa. Pada saat yang sama musyawarah desa akan menciptakan kebersamaan (kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD, lembaga kemasyarakatan dan unsur-unsur masyarakat untuk membangun dan melaksanakan visi-misi perubahan desa.
Musyawarah desa juga menghindarkan relasi konfliktual head to head antara kepala desa dan BPD. Kedua, kepala desa yang mempunyai hasrat menyelewengkan kekuasaan bisa mengabaikan kesepakatan yang dibangun dalam pembahasan bersama antara kepala desa dan BPD maupun kesepakatan dalam musyawarah desa. Kepala desa bisa menetapkan APBDes dan Peraturan Desa secara otokratis dengan mengabaikan BPD dan musyawarah desa, meskipun proses musyawarah tetap ditempuh secara prosedural. Tindakan kepala desa ini legal secara hukum tetapi tidak legitimate secara politik. Kalau hal ini yang terjadi maka untuk menyelamatkan desa sangat tergantung pada bekerjanya fungsi politik BPD dan kuasa rakyat (people power).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar