Tidak sedikit mahasiswa baru sosiologi, bahkan yang lama sekalipun bertanya-tanya tentang apa guna ilmu yang dipelajarinya? Apa hubungan sosiologi dengan kehidupan nyata, alias dunia profesi yang akan dihadapinya. Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan motivasi pribadi dan sekaligus nilai-nilai sosial pendukung setiap maha-siswa sosiologi dalam mempelajari ilmunya. Bahwa ternyata cukup banyak hal yang bisa dilakukan setelah mempelajari sosiologi, tentu dengan usaha serius.
Asal Mula ‘Sosiologi’
Sudah banyak tokoh yang mencoba mengamati manusia dan masyarakat. Mulai Konfusius (551-479 SM) di Cina; Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) di Yunani; Ibn Kaldun (1332-1406) di Arab; bahkan sastrawan ternama dari Inggris William Shakespeare (1564-1616) pun telah membuat refleksi tentang kehidupanmanusia pada jamannya masing-masing. Namun, tokoh-tokoh tersebut masih lebih tertarik untuk membayangkan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang seharusnya, tanpa melihat masyarakat sebagai apa adanya. Suatu pendekatan yang positivis memang, namun itu adalah lajur yang mungkin harus ditempuh untuk mencapai pada tahap-tahap selanjutnya.
Barulah pada tahun 1838 seorang pe-mikir Perancis Auguste Comte (1798-1853) mematenkan istilah ‘sosiologi’ sebagai cara baru melihat dunia, khususnya masyarakat yang menghidupi dunia itu. Comte menawarkan sebuah cara pandang melihat masyarakat sebagai apa adanya (yang kemudian terkenal dengan aliran positivism). Positivism berusaha menjelaskan sesuatu objek dari apa yang tampak. Positivism, dalam perkembangannya, mendapat kritik tajam dari pemikir. Kemudian muncul aliran baru bernama post-positivism, yang menjelaskan obyek dari hal-hal yang tak tampak. Pertanyaannya dasarnya, “Ada apa di balik peristiwa itu?”
Dari sini kita bisa melihat sosiologi bukanlah ilmu yang statis dan kaku (sak-klek), melainkan selalu dinamis dan bergerak menyesuaikan dengan konteks tempatnya hidup. Bagi sosiolog, permasalahan teknis yang dihadapi bukanlah menentukanaliran mana yang paling tepat untuk digunakan (positivism atau post-positivism), melainkan bagaimana memadukan aliran-aliran yang ada tersebut untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh tentang masyarakat.
Perkembangan Sosiologi
Sosiologi terus berkembang pesat sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi sangat cepat sejak abad ke-17 sampai sekarang. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi variabel penyebab percepatan itu, yaitu:
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Sampai 1990, bumi ini telah dihuni lebih dari 5,5 milyar manusia. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, sudah lebih dari 200 juta penduduk. Semakin banyakmanusia makin kompleks pula interaksi dan masalah sosial yang bakal terjadi. Di sinilah sosiolog dituntut untuk tidak pernah ‘lelah’ untuk terus mengikuti perubahan sosial dan menjelaskannya;
Inovasi teknologi yang terus berganti. Mulai dari terjadinya Revolusi Industri (yaitu penggunaan teknologi dalam industri) mengakibatkan manusia yang bertambah banyak itu kehilangan pekerjaan, masalah sosial baru bermunculan pesat. Hubungan manusia dan teknologi merupakan kajian menarik yang bisa digali lebih dalam, karena pada per-kembangan dan pembuatan teknologi (termasuk di dalamnya adalah budaya atau ‘aturan main’ yang menentukan perilaku) telah menjadi ‘tujuan’ tindakan manusia, bukan sebagai ‘sarana’ untuk mencapai tujuan hidup (Habermas, 1990).
Apalagi kini perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara drastis pola-pola interaksi sosial antar-manusia, dari face to face menuju via mass media. Model interaksi baru semacam ini telah menggeser hampir keseluruhan pandangan sosiologis ten-tang bagaimana manusia melakukan ‘kontak’ dan ‘komunikasi’, berinteraksi kata sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto. Padahal, dalam pertemuan face to face terkadang masih dibutuhkan dalam interaksi (dan terkadang model inilah yang paling menentukan);
Perubahan suhu politik ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, mengikuti Karl Marx (1818-1883), mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat. Asumsi Marx ini dikembangkan Michel Foucault yang melihat lahirnya pengetahuan tidak bisa terlepas dari variabel yang bernama kekuasaan. Katanya, ketika ada kekuasaanlah pengetahuan bisa ada. Idealnya, kembali pada Marx, ilmu tidak hanya digunakan untuk menjelaskan realitas sosial yang terjadi, namun yang lebih penting adalah berusaha meniadakan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Pertanyaannya, apa guna ilmu pengetahuan terus berkembang (dan dikembangkan) jika ketidakadilan sosial tetap eksis, bahkan semakin besar? Semangat mewujudkan keadilan sosial itulah yang melatarbelakangi meletusnya berbagai macam gerakan sosial. Kata ‘kemerdekaan’ (liberty) menjadi kata yang sakral untuk diperjuangkan, bahkan hingga kini dalam wacana hak asasi manusia (HAM).
Atas dasar tiga variabel itulah, sosiologi seperti mendapatkan angin segar untuk terus menjamur dan berkembang pesat. Sayangnya, sistem persekolahan (pendidikan formal) di Indonesia, dan negara-negara lain pada umumnya, lebih berorientasipada kepentingan dunia industri daripada masyarakat yang ditinggalinya. Kebanyakan ilmu yang dipelajari perguruan tinggi (termasuk sosiologi) telah ‘tercerabut’ dari akarnya, sehingga ilmu yang dipelajari tidak bisa digunakan dan berguna bagi mayoritas penduduk. Contoh, di Pulau Jawa lebih dari dua pertiga penduduknya adalah petani (dan nelayan) yang menggantungkan hidupnya pada alam (tanah dan laut), namun tidak banyak perguruan tinggi di Pulau Jawa (baik negeri ataupun swasta) yang menawarkan program-program studi yang berhubungan langsung dengan masalah pengembangan pertanian, misalnya. Kalau ada, peminatnya pun tidak banyak (dan biasanya gengsinya rendah). Ironisnya, jurusan-jurusan ini semakin hari semakin menyusut keberadaannya.
Ini hanyalah sebuah contoh ketidakadilan yang dibentuk secara struktural, yang kemudian berdampak pada kesadaran kolektif masyarakat. Kondisi semacam ini hanya semakin memperkokoh citra perguruan tinggi sebagai ‘menara gading’.
Paradigma-Paradigma Sosiologi
Teori-teori sosiologi semakin hari tambah banyak dan semakin variatif. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan teori sudah dibangun oleh para sosiolog di seluruh belahan dunia ini. Dari teori-teori sosiologi yang muncul itu, pada dasarnya, dibangun berdasarkan tiga paradigma teoritik, yaitu:
Paradigma struktural-fungsional, merupakan paradigma yang paling berpengaruh dalam perkembangan sosiologi. Paradigma ini berasumsi masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks di mana setiap bagian dalam masyarakat saling bekerjasama untuk menjaga stabilitas. Ada dua kata kunci, yaitu ‘struktur’ dan ‘fungsi’. Struktur sosial adalah pola-pola sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu yang lama. Fungsi sosial adalah konsekuensi yang dilakukan untuk menjaga kestabilan. Ada dua macam fungsi, yaitu fungsi manifes (atau fungsi yang disadari) dan fungsi laten (atau fungsi yang tidak disadari). Sedangkan jika struktur tidak berhasil mewujudkan kestabilan, maka disebut disfungsi sosial.
Contoh kasus, pendidikan mempunyai fungsi manifes mengajarkan keterampilan pada generasi yang lebih muda, agar siap menggantikan generasi yang lebih tua (fungsi produksi tenaga kerja). Fungsi laten pendidikan adalah melakukan internalisasi nilai-nilai dari generasi tua. Lewat pendidikan, diajarkan tata krama (manner) dalam masyarakat (fungsi sosialisasi). Seiring dengan usaha institusionalisasi pendidikan men-jadi sekolah formal, ditambah dengan meningkatnya kesibukan orangtua dengan pekerjaannya, akibatnya orang-tua pun pasrah bongkokan pada sekolah untuk urusan pendidikan anak-anaknya. Pendidikan dianggap semata tugas sekolah, dengan mengesampingkan peran institusi yang lain dalam melakukan fungsi pendidikan.
Paradigma konflik-sosial. Masih dalam analisis makro, paradigma ini mencoba ‘membuka mata’ para penganut paradigma struktural-fungsional tentang kestabilan yang terjadi dalam masyarakat. Paradigma ini mengasumsikan masyarakat adalah sistem yang kompleks, ditandai oleh terjadinya ketidakadilan sosial dan konflik yang menggerakkan masyarakat itu. Paradigma ini kuat dipengaruhi pemikiran Marx yang melihat masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial yang lebih bersifat stratifikasi (bertingkat) ketimbang diferensial (sejajar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar