Lokalitas Kelembagaan Desa yang Perlu Diperhatikan
Þ Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam “keterkaitan” tersebut (level organisasi) tersebut berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat institusi lokalitas dengan ciri-ciri oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan.
Þ Dikemukakan oleh Swamy (dalam Andrina Cs., 1991) bahwa tujuan dampak adanya kelembagaan lokal adanya perbaikan akses servis bagi perumahan dan afektivitas rumah sehat dan proverty antara perbandingan dengan dampak adanya askses kesehatan, pendidikan dan modal fikologis.
Þ Tingkat komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk kepada sistem administrasi atau teritorial yang lebih rendah. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan, kekerabatan, gender dan sebagainya. Sedangkan lingkup organisasi yang lebih kecil adalah rumah tangga. Organisasi ini tunduk pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di atasnya. Lebih dari itu, beragam keterkaitan tersebut merupakan representasi dari suatu “hubungan kelembagaan” antar seluruh stakeholders sistem administrasi perdesaan.
Þ Dalam konteks ini, konsep “lokalitas” atau “kelembagaan lokal” mengandung pengertian pertama “ikatan sosial” yang berlandaskan teritorial di mana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) di mana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu. Ketika “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari modal sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat.
Þ Yustina dan Sudrajat et.al (2003: 208) mengatakan bahwa modal sosial merupakan cerminan sejauh masyarakat yang terdiri dari individu-individu bersifat “unik” mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan transaksi sebagai wujud struktur sosial. Modal sosial dapat berdegradasi dari yang paling lemah (enter) sampai yang paling kuat (kental) yang dicirikan masyarakat dari loose structur sampai ke solid structur.
Þ Uphoff (dalam Dasgupta Cs., 2002: 215) mengemukakan bahwa modal sosial lebih dilihat bagian upaya pembelajaran analisis dan eksperimen partisipasi yaitu adanya inisiatif dan tidak sekedar didasarkan pada bentuk luar tetapi lebih pada dimensi pengembangan kemanusiaan yang di dalamnya termasuk masalah nilai, norma, kebudayaan, motivasi dan solidaritas.
Þ Sehingga secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok, komunitas dan lokalitas. Seperti yang dikemukakan Hikam (dalam Sondakh et.al, 2002: 25) bahwa permasalahan tersebut lebih menuju adanya tatanan masyarakat sipil yang sebenarnya merupakan proses pergerakan demokrasi pada aras lokal yang melewati batas kekuasaan negara dan batas-batas kelas yang didasarakan pada pemberdayaan masyarakat.
Þ Adriansyah Samsura (2003) mengemukakan bahwa salah satu hal penting dalam proses teknis ini adalah upaya pembangunan “institusi masyarakat” yang cukup legitimasi sebagai wadah bagi masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
Þ Oleh karena pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang dirancang guna memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan miskin maka usaha untuk memeratakan pendapatan dituntut adanya perbaikan kelembagaan (Juoro, 1985). Menurut Soekartawi (1990), aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secara keseluruhan, tetapi juga segi ekonomi perdesaan.
Þ Aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan di perdesaan dikemukakan maju (Mosher, 1974). Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, Samonte (dalam Ndraha, 1987) berpendapat bahwa basis strategi pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar